Rabu, 26 November 2014

Cerita Pendek Pertamaku



PAYUNG HITAM
            Kala itu matahari masih bersembunyi dibalik bulatnya bulan. Tak ada hujan tak ada angin, tak ada badai apalagi tsunami. Namun entah kenapa riuh rendah terjadi dalam rumahku “Apa yang terjadi? ” tanya anak kecil polos berumur 6 tahun. Ya  memang peristiwa itu terjadi November 2002.
            Orang-orang sibuk dengan kepanikannya masing-masing,tanpa memberikan penjelasan dari pertanyaanku tadi. Isak tangis ibuku kala itu,membuat satu kondisi rumah  yang sangat aneh bagiku “Ada apa? kenapa ibu menangis?” pertanyaan tanpa jawaban itu terus terucap dari bibirku. Tangis ibuku yang semakin lama semakin histeris hanya membuatku terdiam karena tidaktahuananku. “Kita ke rumah kakekmu sekarang” seru pamanku.
            Kondisi rumah kakekku jauh lebih ramai dari sekitarnya “Ada apa ini?” tanya ku dalam hati. Ibuku yang tak henti menangis,tiba-tiba diam tak bersuara. Ya ibuku pingsan sesampainya di rumah kakek. Tak banyak yang terucap dari bibirku,tak banyak juga yang ku lakukan. Hanya terdiam dalam keramaian banyak orang  karena ketidaktahuan. Didalam rumah terlihat banyak orang yang mengelilingi benda berkain itu sambil menangis. Ya entah apa itu,bagi anak usia 6 tahun benda itu benda yang tak sering aku temukan. “Apa yang sebenarnya terjadi ? kenapa semua orang menangis? Apa yang mereka tangisi? ” kata yang terpikirkan dalam otak,namun tak ku ucapkan kala itu.
            Bibi ku datang dan memulukku “ayahmu meninggal” ucapnya dalam tangis. Apa yang ada dipikiran anak 6 tahun saat mendengar kata ‘meninggal’ dan aku pun aku masih meraba apa maksud dari kata itu. Jawaban jelasnya kutemukan saat melihat sosok ayah yang baru tadi siang aku peluk,tertidur pucat pasih ditutupi kain. “Ayah,banguuun,ibu tania uma trisma disini.” Suara kecil disela tangis ini terucap berulang-ulang kali. Mamahku terus tak henti-hentinya menangis, membuat tangisku semakin kencang. Rasa tangis ini belum mewakili semua rasa sedih yang dirasakan kala itu. Aku melihat sosok ayah yang selama ini ceria di depan anak-anaknya,sekarang hanya terbujur kaku. “Ayah mana pelukmu?mana tawa candamu?masih adakah kan panggilan sayang untukku nanti? ”
            Apa yang kamu rasakan,ketika kamu melihat sosok ayahmu dimandikan,dikafani,dan akhirnya dikuburkan?ya seperti itulah perasaanku kala itu. Hari demi hari,tahun demi tahun terlewati tanpa ayah disisiku lagi. Tak ada lagi kecupan sayang setiap pagi dia membangunkanmu. Tak ada lagi sosok ayah yang mengajarimu saat tugas sekolah tak kamu pahami. Tak ada lagi sosok yang dengan bangga kamu panggil ‘Ayah’.
            Ya memang takdir mengharuskanku berpisah cepat dari ayahku dan aku tahu Tuhan mungkin punya jalan yang lebih indah nantinya. Namun seringkali hati kecil berpendapat lain. “Kenapa Tuhan memanggil ayahku sangat cepat?kenapa yang lain tidak? Apa Tuhan tak sayang aku?” pertanyaan itu sering terucap tak kala aku sendiri dan tangis jadi temannya. Rasa rindu akan sosok ayah sering kali memuncak dan hanya memandang fotonya lah,diriku merasakan kehadirannya. “Ayah,aku semakin dewasa sekarang. Apa ayah melihat aku di surga sana? Tania kangen.”.
“ Dimana akan kucari,akau menangis seorang diri. ”
“Datanglah,aku ingin bertemu. Untumu aku bernyanyi.”
 “Ayah dengarkanlah,aku ingin berjumpa. Walau hanya dalam mimpi.”
            Sepenggal lirik lagu ‘Ayah’ mungkin bisa menggambarkan perasaanku. Ya perasaan rindu yang mendalam akan sosok ayah yang lama tak bersamaku lagi. Penggalan doa untuknya tak putus ku panjatkan,hanya itu yang bisa kulakukan sebagai tanda  sayang padanya. Berharap ayahku berada di tempat terbaik disisi Tuhan.
            Sekarang usiaku 19 tahun,itu artinya 13 tahun sudah ayahku meninggal. Hanya tumpukan tanah merah yang dihiasi kokohnya batu alam dan berdiri tegak batu nisan bertuliskan ‘Tata Suharta’ tempat dimana ayahku dimakamkan. “Ayaaah,sekarang usiaku 19 tahun. Apa ayah bangga denganku? Apakah aku telah menjadi anak harapan ayah selama ini?” pertanyaan yang sampai kapanpun tak akan menemukan jawabannya.
“Ayah...”
“Meskipun kini kau jauh disana”
“Aku yakin kau sedang bahagia”
“Karena telah melihat anakmu ini tumbuh besar menjadi sosok pribadi sepertimu”
“Kini hanya Doa yang bisa kuberikan dan kupanjatkan untukmu”
“Aku  menyayagimu...Selalu ”

            Baitan puisi sederhana sering kali tertulis sebagai surat hati yang beraharap temukan balasannya. Namun aku tahu,ayah selalu menemani langkah kecil kaki,menjagaku dalam lelapnya malam,mengusap air mataku saat ku menangis. Karena aku tahu,ayah menyayangiku.

“Tuhan sayangi ayahku disana,berikan dia tempat terbaik disisimu”
“Biar waktu yang mempersatukan kita lagi”
“Karena kelak,aku akan mrnyusulmu dalam kehidupan yang abadi”
“Aku sayang ayah.....”
“Doa ku untuk ayah...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar