PAYUNG
HITAM
Kala
itu matahari masih bersembunyi dibalik bulatnya bulan. Tak ada hujan tak ada
angin, tak ada badai apalagi tsunami. Namun entah kenapa riuh rendah terjadi
dalam rumahku “Apa yang terjadi? ” tanya anak kecil polos berumur 6 tahun.
Ya memang peristiwa itu terjadi November
2002.
Orang-orang
sibuk dengan kepanikannya masing-masing,tanpa memberikan penjelasan dari pertanyaanku
tadi. Isak tangis ibuku kala itu,membuat satu kondisi rumah yang sangat aneh bagiku “Ada apa? kenapa ibu
menangis?” pertanyaan tanpa jawaban itu terus terucap dari bibirku. Tangis ibuku
yang semakin lama semakin histeris hanya membuatku terdiam karena
tidaktahuananku. “Kita ke rumah kakekmu sekarang” seru pamanku.
Kondisi rumah kakekku jauh lebih
ramai dari sekitarnya “Ada apa ini?” tanya ku dalam hati. Ibuku yang tak henti
menangis,tiba-tiba diam tak bersuara. Ya ibuku pingsan sesampainya di rumah
kakek. Tak banyak yang terucap dari bibirku,tak banyak juga yang ku lakukan.
Hanya terdiam dalam keramaian banyak orang karena ketidaktahuan. Didalam rumah terlihat
banyak orang yang mengelilingi benda berkain itu sambil menangis. Ya entah apa
itu,bagi anak usia 6 tahun benda itu benda yang tak sering aku temukan. “Apa
yang sebenarnya terjadi ? kenapa semua orang menangis? Apa yang mereka tangisi?
” kata yang terpikirkan dalam otak,namun tak ku ucapkan kala itu.
Bibi
ku datang dan memulukku “ayahmu meninggal” ucapnya dalam tangis. Apa yang ada
dipikiran anak 6 tahun saat mendengar kata ‘meninggal’ dan aku pun aku masih
meraba apa maksud dari kata itu. Jawaban jelasnya kutemukan saat melihat sosok ayah
yang baru tadi siang aku peluk,tertidur pucat pasih ditutupi kain.
“Ayah,banguuun,ibu tania uma trisma disini.” Suara kecil disela tangis ini
terucap berulang-ulang kali. Mamahku terus tak henti-hentinya menangis, membuat
tangisku semakin kencang. Rasa tangis ini belum mewakili semua rasa sedih yang
dirasakan kala itu. Aku melihat sosok ayah yang selama ini ceria di depan
anak-anaknya,sekarang hanya terbujur kaku. “Ayah mana pelukmu?mana tawa
candamu?masih adakah kan panggilan sayang untukku nanti? ”
Apa
yang kamu rasakan,ketika kamu melihat sosok ayahmu dimandikan,dikafani,dan akhirnya
dikuburkan?ya seperti itulah perasaanku kala itu. Hari demi hari,tahun demi tahun
terlewati tanpa ayah disisiku lagi. Tak ada lagi kecupan sayang setiap pagi dia
membangunkanmu. Tak ada lagi sosok ayah yang mengajarimu saat tugas sekolah tak
kamu pahami. Tak ada lagi sosok yang dengan bangga kamu panggil ‘Ayah’.
Ya
memang takdir mengharuskanku berpisah cepat dari ayahku dan aku tahu Tuhan
mungkin punya jalan yang lebih indah nantinya. Namun seringkali hati kecil
berpendapat lain. “Kenapa Tuhan memanggil ayahku sangat cepat?kenapa yang lain
tidak? Apa Tuhan tak sayang aku?” pertanyaan itu sering terucap tak kala aku
sendiri dan tangis jadi temannya. Rasa rindu akan sosok ayah sering kali
memuncak dan hanya memandang fotonya lah,diriku merasakan kehadirannya.
“Ayah,aku semakin dewasa sekarang. Apa ayah melihat aku di surga sana? Tania
kangen.”.
“ Dimana akan kucari,akau menangis seorang diri. ”
“Datanglah,aku ingin bertemu. Untumu aku bernyanyi.”
“Ayah
dengarkanlah,aku ingin berjumpa. Walau hanya dalam mimpi.”
Sepenggal
lirik lagu ‘Ayah’ mungkin bisa menggambarkan perasaanku. Ya perasaan rindu yang
mendalam akan sosok ayah yang lama tak bersamaku lagi. Penggalan doa untuknya
tak putus ku panjatkan,hanya itu yang bisa kulakukan sebagai tanda sayang padanya. Berharap ayahku berada di
tempat terbaik disisi Tuhan.
Sekarang
usiaku 19 tahun,itu artinya 13 tahun sudah ayahku meninggal. Hanya tumpukan
tanah merah yang dihiasi kokohnya batu alam dan berdiri tegak batu nisan
bertuliskan ‘Tata Suharta’ tempat dimana ayahku dimakamkan. “Ayaaah,sekarang
usiaku 19 tahun. Apa ayah bangga denganku? Apakah aku telah menjadi anak
harapan ayah selama ini?” pertanyaan yang sampai kapanpun tak akan menemukan
jawabannya.
“Ayah...”
“Meskipun
kini kau jauh disana”
“Aku yakin
kau sedang bahagia”
“Karena
telah melihat anakmu ini tumbuh besar menjadi sosok pribadi sepertimu”
“Kini hanya
Doa yang bisa kuberikan dan kupanjatkan untukmu”
“Aku menyayagimu...Selalu ”
Baitan puisi sederhana sering kali
tertulis sebagai surat hati yang beraharap temukan balasannya. Namun aku
tahu,ayah selalu menemani langkah kecil kaki,menjagaku dalam lelapnya malam,mengusap
air mataku saat ku menangis. Karena aku tahu,ayah menyayangiku.
“Tuhan sayangi ayahku disana,berikan dia tempat
terbaik disisimu”
“Biar waktu yang mempersatukan kita lagi”
“Karena kelak,aku akan mrnyusulmu dalam kehidupan
yang abadi”
“Aku sayang ayah.....”
“Doa ku untuk ayah...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar