Sabtu, 17 Januari 2015

Cerpen 'Impianku'



IMPIANKU 
Hujan deras yang membasahi jalanan ibu kota malam ini tidak membuat seorang gadis beranjak dari meja belajarnya hanya untuk sekedar menghangatkan diri di balik selimut. Hampir tiga jam lebih dia  menatap layar laptop yang ada dihadapannya dan mengetik kata demi kata sambil sesekali meminum secangkir coklat panas yang ada di sampingnya. Sejenak dia menghentikan jarinya yang sedari tadi sibuk menekan tuts-tuts pada keyboard.  Dia melepaskankan kacamata yang ada di wajahnya kemudian kembali mengingat kejadian yang dialaminya tadi siang. 
“Mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Ini tidak akan membuat kamu menjadi orang sukses!” 
“Tapi yah, menulis adalah hobby ku dan menjadi penulis adalah cita-citaku dari kecil” sambil menangis memeluk ibunya yang ada disampingnya. 
“Pokoknya ayah tidak mau lagi liat kamu menulis. Jadilah, seorang dokter yang profesional jika kamu ingin melihat ayah dan ibu bangga padamu.” 
Bayangan itu terus mengganggu fikiranku. Fikiran yang saat ini membebani kepalaku. Sedikit ku ceritakan, ayahku adalah seorang dokter. Seseorang yang sudah bisa dibilang sukses dengan nama gelar yang dimilikinya. Seorang yang aku banggakan sejak kecil. Oleh karena itu, ayah ingin sekali aku sekolah di bidang kedokteran dan beliau ingin melihat diriku sukses seperti dirinya. Tetapi, menjadi dokter bukanlah keinginanku. Dan menjadi penulis profesional adalah impianku.
----
“Ay, bangun. Udah siang, nanti kamu terlambat ke sekolah.” Seru wanita yang memiliki suara lembut, wanita yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku, wanita yang tidak pernah bosan melengkungkan senyum indah dibibirnya yang membuat hatiku selalu tenang jika melihatnya. Ya, wanita itu adalah ibuku. 
“Hoam, iya bu.” 
“Oh iya, sekalian itu laptop kamu di charge ya semalam kamu tidur lupa dimatiin ya?” 
“Hehe iya bu.” Memang, semalam aku ketiduran dan  lupa mematikan laptop saat aku sedang merebahkan diri di kasur karena tubuhku yang mulai merasa tak enak. 
Dengan malas aku beranjak dari kasur. Sebelumnya, perkenalkan namaku Ayla Anindita. Aku duduk dibangku 3 SMA yang sebentar lagi akan menduduki bangku perkuliahan. Ujian Nasional sudah aku lalui minggu lalu, tetapi hari ini masih tetap harus pergi ke sekolah untuk sekedar mengurus surat-surat yang diperlukan ataupun menunggu informasi tentang hasil kelulusan. Huh, sungguh malas.
---
“Ay, jadinya mau masuk kampus mana?” seru temanku Lionil dengan nafas yang terengah-engah karena sedari tadi berlari-lari ingin menghampiriku. 
“Nafas dulu kali. Habis ngapain sih, jogging? Hm.” 
“Yakali jogging, lagian kamu di panggilin dari tadi ga nengok-nengok sih.” 
“Hehe maaf. Jangankan cari kampus yo, milih jurusan saja aku masih bingung. Ayahku, tetap ingin aku ambil fakultas kedokteran.” Akupun menjawab dengan lesu. 
“Coba nanti kamu bicarakan ini lagi dengan ayahmu, jangan putus asa gitu dong ah. Aku doakan semoga ayahmu mengerti.” 
“Iya, makasih ya yo. Lagian siapa yang putus asa sih sok tau kamu.” Seru gadis itu sambil mencubit tangan teman lelakinya itu. 
“Aw.. Itu lihat muka mu sudah seperti emoticon titik dua buka kurung yang ada di handphone ku hahaha.” 
“Apaansih yooo jayus deh hahaha. Yuk ke kelas!”
---
Hasil Ujian Nasional sudah di umumkan kemarin, semua siswa kelas 3 di sekolahku tidak ada yang tidak lulus. Semuanya lulus. Aku mendapatkan nilai ujian yang menurutku lumayan bagus. Satu per satu teman-temanku sibuk mengurusi dirinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yang mereka inginkan. 
“Yah, aku benar-benar tidak ingin menjadi dokter” dengan gugup aku memberanikan diri berbicara pada ayah yang sedang membaca koran di gazebo. 
“Kenapa kamu ingin sekali menjadi penulis? Menjadi penulis itu, belum tentu ceritamu akan disukai oleh masyarakat. Lihat kakak sepupumu Aldi, buku nya tidak laku terjual akhirnya dia hanya menjadi pengangguran saja. Lebih baik jadi dokter yang sudah jelas akan menjadi masa depanmu yang cerah.” Seru ayahku dengan nada berat dan terlihat ingin marah. 
“Aku sudah bilang impianku adalah menjadi seorang penulis, dan jangan samakan aku dengan kak Aldi. Aku berjanji pada ayah bahwa aku akan membuat ayah bangga kepadaku. Kumohon yah, turuti keinginanku. Aku janji” aku berlutut di hadapan ayah sambil mencium kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca. 
Ayah menghela nafas, dan memegang bahu ku sebagai isyarat memerintahku duduk kembali di kursi yang aku duduki sebelumnya.  
“Benar kamu janji akan membuat ayah bangga kepadamu?” 
“Ayla janji yah, ayla janji akan membuat ayah bangga pada ayla. Ayla akan bertanggung jawab pada semua keputusan yang ayla pilih” 
“Yasudah ayah izinkan kamu meneruskan impianmu” ayah tersenyum. Kemudian aku memeluk ayah dengan erat. Dan tangis bahagia mengalir di wajahku. 
“Terimakasih ayah, ayla sayang ayaaaah.”

 karya : Rexa Dwi Nurcitha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar