IMPIANKU
Hujan deras
yang membasahi jalanan ibu kota malam ini tidak membuat seorang gadis
beranjak dari meja belajarnya hanya untuk sekedar menghangatkan diri di balik
selimut. Hampir tiga jam lebih dia menatap layar laptop yang ada
dihadapannya dan mengetik kata demi kata sambil sesekali meminum secangkir
coklat panas yang ada di sampingnya. Sejenak dia menghentikan jarinya yang
sedari tadi sibuk menekan tuts-tuts pada keyboard. Dia melepaskankan
kacamata yang ada di wajahnya kemudian kembali mengingat kejadian yang
dialaminya tadi siang.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini
terus? Ini tidak akan membuat kamu menjadi orang sukses!”
“Tapi yah, menulis adalah hobby ku
dan menjadi penulis adalah cita-citaku dari kecil” sambil menangis memeluk
ibunya yang ada disampingnya.
“Pokoknya ayah tidak mau lagi liat
kamu menulis. Jadilah, seorang dokter yang profesional jika kamu ingin melihat
ayah dan ibu bangga padamu.”
Bayangan itu
terus mengganggu fikiranku. Fikiran yang saat ini membebani kepalaku. Sedikit
ku ceritakan, ayahku adalah seorang dokter. Seseorang yang sudah bisa dibilang
sukses dengan nama gelar yang dimilikinya. Seorang yang aku banggakan sejak
kecil. Oleh karena itu, ayah ingin sekali aku sekolah di bidang kedokteran dan
beliau ingin melihat diriku sukses seperti dirinya. Tetapi, menjadi dokter
bukanlah keinginanku. Dan menjadi penulis profesional adalah impianku.
----
“Ay, bangun. Udah siang, nanti kamu
terlambat ke sekolah.” Seru wanita yang memiliki suara lembut, wanita yang
selalu setia mendengarkan keluh kesahku, wanita yang tidak pernah bosan
melengkungkan senyum indah dibibirnya yang membuat hatiku selalu tenang jika
melihatnya. Ya, wanita itu adalah ibuku.
“Hoam, iya bu.”
“Oh iya, sekalian itu laptop kamu di
charge ya semalam kamu tidur lupa dimatiin ya?”
“Hehe iya bu.” Memang, semalam aku
ketiduran dan lupa mematikan laptop saat aku sedang merebahkan diri di
kasur karena tubuhku yang mulai merasa tak enak.
Dengan malas
aku beranjak dari kasur. Sebelumnya, perkenalkan namaku Ayla Anindita. Aku
duduk dibangku 3 SMA yang sebentar lagi akan menduduki bangku perkuliahan.
Ujian Nasional sudah aku lalui minggu lalu, tetapi hari ini masih tetap harus
pergi ke sekolah untuk sekedar mengurus surat-surat yang diperlukan ataupun
menunggu informasi tentang hasil kelulusan. Huh, sungguh malas.
---
“Ay, jadinya mau masuk kampus mana?”
seru temanku Lionil dengan nafas yang terengah-engah karena sedari tadi
berlari-lari ingin menghampiriku.
“Nafas dulu kali. Habis ngapain sih,
jogging? Hm.”
“Yakali jogging, lagian kamu di
panggilin dari tadi ga nengok-nengok sih.”
“Hehe maaf. Jangankan cari kampus
yo, milih jurusan saja aku masih bingung. Ayahku, tetap ingin aku ambil
fakultas kedokteran.” Akupun menjawab dengan lesu.
“Coba nanti kamu bicarakan ini lagi
dengan ayahmu, jangan putus asa gitu dong ah. Aku doakan semoga ayahmu
mengerti.”
“Iya, makasih ya yo. Lagian siapa
yang putus asa sih sok tau kamu.” Seru gadis itu sambil mencubit tangan teman
lelakinya itu.
“Aw.. Itu lihat muka mu sudah
seperti emoticon titik dua buka kurung yang ada di handphone ku hahaha.”
“Apaansih
yooo jayus deh hahaha. Yuk ke kelas!”
---
Hasil Ujian
Nasional sudah di umumkan kemarin, semua siswa kelas 3 di sekolahku tidak ada
yang tidak lulus. Semuanya lulus. Aku mendapatkan nilai ujian yang menurutku
lumayan bagus. Satu per satu teman-temanku sibuk mengurusi dirinya untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi yang mereka inginkan.
“Yah, aku benar-benar tidak ingin
menjadi dokter” dengan gugup aku memberanikan diri berbicara pada ayah yang
sedang membaca koran di gazebo.
“Kenapa kamu ingin sekali menjadi
penulis? Menjadi penulis itu, belum tentu ceritamu akan disukai oleh
masyarakat. Lihat kakak sepupumu Aldi, buku nya tidak laku terjual akhirnya dia
hanya menjadi pengangguran saja. Lebih baik jadi dokter yang sudah jelas akan
menjadi masa depanmu yang cerah.” Seru ayahku dengan nada berat dan terlihat
ingin marah.
“Aku sudah bilang impianku adalah
menjadi seorang penulis, dan jangan samakan aku dengan kak Aldi. Aku berjanji
pada ayah bahwa aku akan membuat ayah bangga kepadaku. Kumohon yah, turuti
keinginanku. Aku janji” aku berlutut di hadapan ayah sambil mencium kedua
tangannya dengan mata berkaca-kaca.
Ayah menghela nafas, dan memegang
bahu ku sebagai isyarat memerintahku duduk kembali di kursi yang aku duduki
sebelumnya.
“Benar kamu janji akan membuat ayah
bangga kepadamu?”
“Ayla janji yah, ayla janji akan
membuat ayah bangga pada ayla. Ayla akan bertanggung jawab pada semua keputusan
yang ayla pilih”
“Yasudah ayah izinkan kamu
meneruskan impianmu” ayah tersenyum. Kemudian aku memeluk ayah dengan erat. Dan
tangis bahagia mengalir di wajahku.
“Terimakasih ayah, ayla sayang
ayaaaah.”
karya : Rexa Dwi Nurcitha
karya : Rexa Dwi Nurcitha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar